Ready stock aneka senjata tajam, golok, cabang, kerambit, kujang, badik. Juga kaos dan aksesoris silat di waroeng silat bang ochid.
visit http://waroengsilat.com
Jumat, 09 Juli 2010
Rabu, 07 Juli 2010
JURUS DAN APLIKASI DALAM SILAT
Banyak orang beranggapan bahwa jurus dilatih supaya bisa melakukan aplikasi. Banyak orang belajar silat dengan berlatih jurus semata-mata untuk bisa melakukan aplikasi, sehingga kita sering mendengar pernyataan : “aplikasi jurus nya adalah seperti ini”. Atau pertanyaan : “bagaimana aplikasi dari jurus itu?”. Karena hal itu sudah sangat umum, maka jadilah itu suatu “kebenaran” atau paling tidak “dianggap sebuah kebenaran”.
Sudah sangat umum dan kerap terjadi bahwa belajar silat itu indetik dngan berlatih jurus dan aplikasi nya. Sehingga selalu lah kita mendengar dan melihat proses pembelajaran silat yang menjemukan. Konsep-konsep yang tampak nya benar padahal menyesatkan. “Jurus ini adalah aplikasi nya begini, serangan seperti ini diantisipasi dengan jurus ini, pukulan ini untuk ini, gerakan itu untuk itu, tangkisan seperti ini untuk menangkis tendangan itu, dan sebagainya”.
Apabila anda belajar silat seperti itu, atau mengajar silat semacam itu maka kasihanilah diri anda sendiri, dan merana lah pencak silat untuk selama nya karena sepuluh atau seratus tahun lagi pencak silat akan menjelma menjadi robot dengan perintah elektronik.
Pertanyaannya, kenapa guru-guru silat (tradisional) kita juga menerapakan metode pembelajaran seperti itu? Jawabannya adalah ini semata fenomena mutahkhir saat ini. Di mana perkembangan pencak silat makin marak, semangat menyebarluaskan pencak silat, dan murid-murid jaman sekarang yang “cerdas-cerdas dan kritis”, yang selalu bertanya.
Guru silat yang masih menerapkan metode pembelajaran “kuno” akan tidak laku dan ditunggalkan para murid yang kritis dan cerdas-cerdas tersebut. Dulu, jaman para guru dan orang tua kita belajar silat, ada keyakinan “tabu” untuk bertanya. Mereka hanya menurut apa yang diperintahkan guru nya. Belajar dengan serius dan tekun tanpa banyak bertanya, berusaha “mengerti” tidak Cuma “sekedar bisa”. Sehingga banyak lah kita kenal para tokoh, sesepuh dan guru silat kita yang keahliannya sangat, sangat mumpuni.
Perkembangan saat ini, guru harus mengikuti trend. Murid-murid sekarang kritis dan selalu bertanya, tidak bisa lagi diterapkan metode “kuno” tersebut. Guru harus bisa menjawab setiap pertanyaan dan kasus yang dipersoalkan para murid nya. Kalau tidak maka mereka akan pergi karena “belajar silat di aliran itu dengan guru itu tidak menarik, membosankan, tidak dijelaskan aplikasi dan tidak boleh bertanya macam-macam”.
Jadi sudah menjadi anggapan lumrah saat ini bahwa “belajar silat adalah belajar aplikasi”. Apakah hal ini lama-kelamaan tidak akan mengebiri pencak silat sendiri? Jawabannya tentu saja "YA".
Silat memang seni bela diri, untuk membela diri dan berkelahi. Itu benar dan memang benar. Tetapi ada hal lain yang kerap dilupakan bahwa pencak silat itu sangat kental dengan unsur-unsur filosofis, kaedah dan adat budaya. Bisa aplikasi dan bisa berkelahi hanyalah salah satu unsur dari hasil pembelajaran, bukan satu-satu nya. Oleh karena itulah kita mengenal istilah “kaedah dalam sailat”, juga pitutur yang mengharuskan kita untuk “mengerti tidak Cuma sekedar bisa”.
Anda yang sudah memahami kaedah, mengerti, tentu otomatis bisa. Anda yang sudah bisa belum tentu mengerti.
Salah satu contoh adalah gerakan suliwa/seliwa. Ini sebenar nya adalah suatu kaedah, bukan semata gerakan yang bersilangan atau berlawanan. Dalam tahap awal pembelajaran –dalam aliran silat sunda dan betawi misal nya- kita berlatih gerakan suliwa adalah untuk “bisa” mengantisipasi gerakan jurus (serangan lurus dengan tangan dan kaki yang sama). Suliwa digunakan untuk menghindar lalu menyerang balik, ini pelajaran dasar. Karena aplikasi gerak/jurus suliwa bisa menghindari serangan pukulan/tendangan. “Menghindar dan berlawanan”, ini lah kaedah yang harus kita mengerti. Filosofi yang terkandung di dalam nya sangat dalam dan luas.
Dalam kehidupan ini gerakan/kaedah suliwa sangat applicable. Bukankah kita diajarkan untuk menghindari perbuatan buruk, menghindari sengketa, menjauhi permasalahan? Dan bukankah alam semesta serta isi nya ini selalu berpasangan dan “berlawanan?”.
Latihlah gerakan suliwa sampai mahir, kuasailah teknik nya, tapi jangan lupa untuk memahami dan mengerti kaedah dan filosofi nya. Bertanyalah tentang isi dan makna bukan semata aplikasi pertarungan, maka para guru akan dengan senang hati memberikan penjelasan dan berbangga hati karena mempunyai murid yang akan mewarisi nilai-nilai luhur pencak silat. Jadi kalau kita masih saja menemukan guru yang mengajar dengan metode “jalani aja dulu, nanti lama-lama juga bisa”, bukan berarti guru tersebut kuno dan pelit aplikasi, hanya saja kita perlu merobah pertanyaan kita.
Dengan memahami dan mengerti sedalam-dalam nya kaedah gerakan suliwa, maka aplikasi yang kita butuhkan akan mengalir dan keluar dengan sendiri nya dalam situasi dan kondisi pertarungan apa pun, karena kita sudah tidak terjebak lagi dengan konsep-konsep baku suatu pertarungan.
Angka “NOL” yang nilai nya kosong lah yang menentukan apakah uang kita nilai nya seribu trilyun atau Cuma satu rupiah saja.
Sudah sangat umum dan kerap terjadi bahwa belajar silat itu indetik dngan berlatih jurus dan aplikasi nya. Sehingga selalu lah kita mendengar dan melihat proses pembelajaran silat yang menjemukan. Konsep-konsep yang tampak nya benar padahal menyesatkan. “Jurus ini adalah aplikasi nya begini, serangan seperti ini diantisipasi dengan jurus ini, pukulan ini untuk ini, gerakan itu untuk itu, tangkisan seperti ini untuk menangkis tendangan itu, dan sebagainya”.
Apabila anda belajar silat seperti itu, atau mengajar silat semacam itu maka kasihanilah diri anda sendiri, dan merana lah pencak silat untuk selama nya karena sepuluh atau seratus tahun lagi pencak silat akan menjelma menjadi robot dengan perintah elektronik.
Pertanyaannya, kenapa guru-guru silat (tradisional) kita juga menerapakan metode pembelajaran seperti itu? Jawabannya adalah ini semata fenomena mutahkhir saat ini. Di mana perkembangan pencak silat makin marak, semangat menyebarluaskan pencak silat, dan murid-murid jaman sekarang yang “cerdas-cerdas dan kritis”, yang selalu bertanya.
Guru silat yang masih menerapkan metode pembelajaran “kuno” akan tidak laku dan ditunggalkan para murid yang kritis dan cerdas-cerdas tersebut. Dulu, jaman para guru dan orang tua kita belajar silat, ada keyakinan “tabu” untuk bertanya. Mereka hanya menurut apa yang diperintahkan guru nya. Belajar dengan serius dan tekun tanpa banyak bertanya, berusaha “mengerti” tidak Cuma “sekedar bisa”. Sehingga banyak lah kita kenal para tokoh, sesepuh dan guru silat kita yang keahliannya sangat, sangat mumpuni.
Perkembangan saat ini, guru harus mengikuti trend. Murid-murid sekarang kritis dan selalu bertanya, tidak bisa lagi diterapkan metode “kuno” tersebut. Guru harus bisa menjawab setiap pertanyaan dan kasus yang dipersoalkan para murid nya. Kalau tidak maka mereka akan pergi karena “belajar silat di aliran itu dengan guru itu tidak menarik, membosankan, tidak dijelaskan aplikasi dan tidak boleh bertanya macam-macam”.
Jadi sudah menjadi anggapan lumrah saat ini bahwa “belajar silat adalah belajar aplikasi”. Apakah hal ini lama-kelamaan tidak akan mengebiri pencak silat sendiri? Jawabannya tentu saja "YA".
Silat memang seni bela diri, untuk membela diri dan berkelahi. Itu benar dan memang benar. Tetapi ada hal lain yang kerap dilupakan bahwa pencak silat itu sangat kental dengan unsur-unsur filosofis, kaedah dan adat budaya. Bisa aplikasi dan bisa berkelahi hanyalah salah satu unsur dari hasil pembelajaran, bukan satu-satu nya. Oleh karena itulah kita mengenal istilah “kaedah dalam sailat”, juga pitutur yang mengharuskan kita untuk “mengerti tidak Cuma sekedar bisa”.
Anda yang sudah memahami kaedah, mengerti, tentu otomatis bisa. Anda yang sudah bisa belum tentu mengerti.
Salah satu contoh adalah gerakan suliwa/seliwa. Ini sebenar nya adalah suatu kaedah, bukan semata gerakan yang bersilangan atau berlawanan. Dalam tahap awal pembelajaran –dalam aliran silat sunda dan betawi misal nya- kita berlatih gerakan suliwa adalah untuk “bisa” mengantisipasi gerakan jurus (serangan lurus dengan tangan dan kaki yang sama). Suliwa digunakan untuk menghindar lalu menyerang balik, ini pelajaran dasar. Karena aplikasi gerak/jurus suliwa bisa menghindari serangan pukulan/tendangan. “Menghindar dan berlawanan”, ini lah kaedah yang harus kita mengerti. Filosofi yang terkandung di dalam nya sangat dalam dan luas.
Dalam kehidupan ini gerakan/kaedah suliwa sangat applicable. Bukankah kita diajarkan untuk menghindari perbuatan buruk, menghindari sengketa, menjauhi permasalahan? Dan bukankah alam semesta serta isi nya ini selalu berpasangan dan “berlawanan?”.
Latihlah gerakan suliwa sampai mahir, kuasailah teknik nya, tapi jangan lupa untuk memahami dan mengerti kaedah dan filosofi nya. Bertanyalah tentang isi dan makna bukan semata aplikasi pertarungan, maka para guru akan dengan senang hati memberikan penjelasan dan berbangga hati karena mempunyai murid yang akan mewarisi nilai-nilai luhur pencak silat. Jadi kalau kita masih saja menemukan guru yang mengajar dengan metode “jalani aja dulu, nanti lama-lama juga bisa”, bukan berarti guru tersebut kuno dan pelit aplikasi, hanya saja kita perlu merobah pertanyaan kita.
Dengan memahami dan mengerti sedalam-dalam nya kaedah gerakan suliwa, maka aplikasi yang kita butuhkan akan mengalir dan keluar dengan sendiri nya dalam situasi dan kondisi pertarungan apa pun, karena kita sudah tidak terjebak lagi dengan konsep-konsep baku suatu pertarungan.
Angka “NOL” yang nilai nya kosong lah yang menentukan apakah uang kita nilai nya seribu trilyun atau Cuma satu rupiah saja.
Sabtu, 03 Juli 2010
BABAD CARINGAN
Sebelas Sarasilah dan Babad Caringin
Dengan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa dan Atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang Semoga para leluhur memperoleh keselamatan dan anugerah dan semoga kami pantas untuk mengemban segala warisannya
Sarasilah Caringin
Ini adalah trah dan sarasilah para leluhur di kawasan Caringin yang sejarahnya telah mewarnai corak kehidupan di tempat ini dan kehadirannya dirasakan melalui pengucapan nama penuh hormat serta diketahui melalui segala petilasan peninggalan mereka Berbagai tokoh dan nama keturunan telah hadir di Caringin baik ulama maupun prajurit, orang saleh maupun jawara dari trah Kalijaga dan Ngampel Denta, juga dari darah agung Siliwangi dan tidak ketinggalan pula para pahlawan perkasa dari Mataram disertai dengan banyak para tokoh dari wetan lainnya Mereka semua telah meninggalkan jejaknya di Bumi Caringin yaitu jejak dan tapak yang pantas dipelihara dan diikuti Demikianlah kini akan diuraikan secara rapi berurutan para nenek moyang yang dahulu telah membuat sejarah di kecamatan ini.
Dari trah Kalijaga datanglah Eyang Sapujagad, yaitu Kyai Langlangbuwana yang menikah dengan Setiyadiningsih atau Hadityaningsih yaitu putri yang di petilasan Cileungsi disebut Kembang Cempaka Putih dan pada petilasan Babakan diberi gelar Dewi Kembang Kuning maka kedua suami istri inilah yang telah menurunkan Kyai Elang Bangalan yang telah datang dan seterusnya menetap di daerah Lemah Duhur.
Kemudian daripada itu Elang Bangalanpun menurunkan empat orang anak yang tertua adalah Arya Sancang di Garut-Pameungpeuk diikuti oleh Eyang Badigul Jaya Pancawati, Ayah Ursi Pancawati dan Eyang Ragil Pancawati maka ketiga anak yang lebih muda itu turut menjadi cikal bakal Caringin serta meninggalkan kenangan di Pasir Karamat yang diluhurkan.
Jumat, 02 Juli 2010
ASTA BRATA, 8 WATAK KEPEMIMPINAN BERDASARKAN WATAK ALAM
Yekti nora keno siro oncati, salah siji saking wolu, cacat keratoniro. Siro ing mengkodadi ratu gedhe, amesti nganggo ambeg wolung prakoro
"Tidak dapat dihindari salah satu dari delapan watak yang telah ditetapkan agar tidak cacat dalam memimpin negara, sebab kamu nanti akan menjadi raja yang besar, jika dapat mempraktikan delapan perkara."
Ujar-ujar di atas adalah wejangan Mpu Kanwa kepada Airlangga ketika meguru di Padepokan di Gunung Willis, dalam rangka menyiapkan Airlangga menjadi raja besar di tanah Jawa. (disarikan dari novel epik AIRLANGGA karangan SW Warsito dan Harmadi).
IV. ANGIN
ambeging angin. Tan pegat titi-parikso, angun angijen-ijen solah bawaning janmo, biso manuksmo ing agal alit, amiguno ing aguno, lakune tanpo wangenan pamrihe tanpo tengeran, yen katulak ora enak, yen katarik ora serik
Langganan:
Postingan (Atom)